BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, sehingga negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil. Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan mangrove.
1. 2. Tujuan
1. 2. 1. Tujuan Umum
Pelajaran mengenai lingkungan hidup organisma sudah dipelajari sebelum kata ekologi itu sendiri diperkenalkan oleh ahlinya. Nenek moyang kita pada jaman dahulu telah berupaya untuk memelihara lingkungan, yang terbukti dari mitos mitos yang muncul seperti ”jangan menebang pohon yang rindang karena ada penghuninya”. Ini adalah salah satu upaya mereka untuk memelihara keseimbangan ekosistem dan juga untuk menjaga ketersediaan air. Mitos-mitos mengenai pemeliharaan lingkungan ini relatif cukup banyak, karena masing-masing suku yang ada di Indonesia memilikinya. Gambaran ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan organisma yang memiliki kekekuatan penuh yang mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya.
Utama mempelajari dan mengetahui lebih tentang hutan mangrove peranan dan manfaatnya bagi mahluk hidup lain.
1. 2. 2. Tujuan Khusus
Tujuan dari makalah ini untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Ekologi Tumbuhan.
1. 3. Rumusan Masalah
1. 3. 1. Karakteristik hutan mangrove?
1. 3. 2. Korelasi antara komunitas mangrove dengan biota pantai di ekosistem
pantai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Deskripsi Hutan Bakau / Mangrove
Deskripsi Tentang Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.
Hutan bakau/mangrove banyak ditemukan di sepanjang pantai yang landai di daerah tropik dan subtropik. Tumbuhan yang dominan adalah pohon bakau (Rhizophora sp), sehingga nama lainnya adalah hutan bakau, selain pohon bakau ditemukan pula pohon Kayu Api (Avicennia) dan pohon Bogem (Bruguiera).
Ciri-ciri:
1. Kadar garam air dan tanahnya tinggi.
2. Kadar O2 air dan tanahaya rendah.
3. Saat air pasang, lingkungannya banjir, saat air surut lingkungannya becek dan herlumpur.
Dengan kondisi kadar garam tinggi, menyebabkan tumbuhan bakau sukar menyerap air meskipun lingkungan sekitar banyak air, keadaan ini dikenal dengan nama kekeringan fisiologis. Untuk menyesuaikan dengan lingkungan tersebut tumbuhan bakau memiliki dedaunan yang tebal dan kaku, berlapiskan kutikula sehingga dapat mencegah terjadinya penguapan yang terlalu besar.
Untuk menyesuaikan diri dengan kadar O2 rendah, tumbuhan bakau memiliki akar nafas yang berfungsi menyerap O2 langsung dari udara. Agar individu baru tidak dihanyutkan oleh arus air akibat adanya pasang naik dan pasang surut terutama pada bakau kita dapati suatu fenomena yang dikenal dengan nama VIVIPARI yang artinya adalah berkecambahnya biji selagi biji masih terdapat dalam buah, belum tanggal dari pohon induknya, dapat membentuk akar yang kadang-kadang dapat mencapai 1 meter panjangnya.
Jika biji yang sudah berkecambah tadi lepas dari pohon induknya maka dengan akar yang panjang tersebut dapat menancap cukup dalam di dalam lumpur, sehingga tidak akan terganggu dengan arus air yang terjadi pada gerakan pasang dan surut.
2. 2. Manfaat Hutan Bakau / Mangrove
Hutan bakau (mangrove) berperan sangat penting bagi kehidupan. Kawasan tanaman ini berandil signifikan bagi bagi penduduk di sekitar. Hutan bakau memiliki beragam fungsi. Antara lain, meng¬hambat erosi pantai, mengurai limbah organik, sebagai tempat pemijahan, engasuhan dan mencari makan (spawning ground,nursery ground and feeding ground) berbagai jenis biota laut.
Hutan bakau menjadi habitat berbagai jenis satwa, penghasil kayu dan non kayu, serta potensi ekoturisme.
Hubungan masyarakat dengan ekosistem sekitar didekspresikan melalui pemanfataan berbagai produk hutan untuk berbagai manfaat. Dalam era mo¬dern sekarang kini pun, beberapa kelompok etnis di Papua, secara turun-temurun, masih bergantung erat pada sumberdaya hutan. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan sumber energi, obat tradisional, habitat hewan liar dan potensi wisata ekologi.
Berbagai contoh flora yang dimanfaatkan oleh penduduk pesisir di papua,
1) Bruguiera gymnorhiza ada¬lah jenis bakau yang dimanfaatkan sejumlah suku sebagai sumber pangan. Suku Biak mengkonsumsi pati dari buah bakau ini sebagai sumber karbohidrat.
2) Kelompok etnis di Wondama mengkonsumsi buah matang Bruguiera sp. Begitu pula suku Inanwatan di Sorong meman¬faatkan jenis A. alba, A. lanata, N. fruticans dan Sonneratia caseolaris. Jenis-jenis ini bisa langsung digunakan atau direbus (dibakar) dengan kelapa.
3) Di daearah-daerah dataran tinggi, kayu hutan sudah lazim digunakan sebagai bahan bangunan.Sementara penduduk di wilayah pesisir, seperti etnis Biak, kayu bakau menjadi bahan pengganti. Etnis ini menggunakan bagian batang R. apiculata untuk tiang rumah dan ranting sebagai bahan bakar. Hal yang sama juga berlaku untuk spesies Sonneratia alba dan Xeriops tagal.
Di kalangan suku Inanwatan, bagian batang Avicenia lanata berfungsi sebagai badan perahu. Jenis-jenis bakau yang juga bisa digunakan sebagai bahan bangunan,yakni batang Ceriops decandra, C. tagal dan Rhizopora mucronata. Yakni, biasa digunakan sebagai tiang pagar, bahan dinding rumah dan bahan pembuat perahu. Daun Nypha fruticans dianyam sebagai atap rumah.
4) Buah matang dari jenis B. Gymnorhiza tidak hanya untuk konsumsi, tetapi batang dan rantingnya digarap menjadi peralatan rumah tangga, seperti dilakukan suku Wondama.
5) S. alba digunakan sebagai obat. Air rebusan dari kulit gerusannya diminum untuk mengontrol kehamilan dan memperlancar persalinan. Sebagaimana, kelompok etnis Biak.
6) Daun Rhizopora aty¬losa yang merata di atas permukaan air digunakan etnis ini untuk memperlancar anak kecil belajar bicara.
7) Komunitas tertentu di Papua juga memanfaatkan gerusan kulit atau akar bakau sebagai ramuan miuman keras sebagai stimulan bagi vitalitas kaum pria. Di Sorong misalnya, etnis Inanwatan menggunakan sadapan buah N. fruticans dan akar muda R. apiculata untuk mencampur minuman.
8) Dan buah R. mucronata sebagai obat diare.
9) Jenis Rhizopora sp lazim digunakan sebagai bahan pencampur minuman keras oleh etnis Wondama. Bahkan, ada spesies bakau yang dapat diolah menjadi minuman beralkohol (Nypa fruticans) dan minuman fermentasi (R. stylosa).
Kawasan bakau tidak hanya memasok kebutuhan pangan dan papan pribumi Pa¬pua. Ia juga habitat biota laut/air, sumber protein (hewani), seperti ikan, udang, kerang, kepiting dan buaya.
2. 3. Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki berbagai macam fungsi. Menurut Rahmawaty (2006), beberapa fungsi yang dimiliki hutan mangrove adalah sebagai berikut:
2. 3. 1. Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO2 dan penghasil O2 serta mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Irawan (2005) melaporkan bahwa keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil resiko akibat dampak tsunami di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Daerah-daerah yang memiliki front zonasi mangrove kerusakannya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki front hutan mangrove. Adanya perubahan lingkungan ekosistem wilayah pesisir laut secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem komunitas yang berada di dalamnya, termasuk terhadap keanekaragaman jenis dan struktur komunitas yang berada dalam ekosistem tersebut.
2. 3. 2. Fungsi Biologis
Merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) dari berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria.
2. 3. 3. Fungsi Sosial Ekonomi
Sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan.
2. 4. Fauna Bakau / Mangrove
Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi dimanfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis ikan, kepiting dan burung.
2. 3. 1. Ikan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove Indonesia. Dari berbagai jenis ikan tersebut ada enam jenis yang umum diketemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), Snapper (anggota Lutjanidae), Milkfish (Chanos chanos), seabass (Lates calcarifer), Tilapia (Tillapia sp.), Mudskipper (Periothalmus spp.)
2. 3. 2. Udang dan kepiting
Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di habitat mangrove Indonesia, diantaranya jenis-jenis yang umum diketemukan di habitat tersebut, adalah : Uca spp. (fiddler crab), Sesarma spp., Scylla serata, Macrobrachium rosenbergii, Penaeus spp. Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya dibudidayakan oleh masyarakat dalam bentuk tambak, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya dan Crustaceae serta moluska diperoleh oleh masyarakat melalui penangkapan.
2. 3. 3. Burung
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 51 jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan Phalacocorax sp.), cangak dan blekok (Ardea sp.), bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.). Masyarakat sekitar mangrove pada waktu-waktu tertentu berburu burung dan memungut telur burung untuk bahan makanan atau untuk dijual, seperti yang terjadi di hutan mangrove Pulau Rambut (Departemen Kehutanan, 1994), Karang Gading dan Langkat (Hanafiah-Oeliem et al. 2000). Hal yang sama juga penulis temui di berbagai kawasan mangrove seperti di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau lainnya.
2. 3. 4. Lebah madu
Hutan mangrove merupakan salah satu tempat bersarang yang baik bagi lebah madu, sehingga mangrove sangat potensial untuk menghasilkan madu. Umumnya, lebah madu membuat sarang pada pohon Avicennia spp, Ceriops spp., dan Excoecaria agallocha. Dengan adanya lebah madu membuat sarang di pohon-pohon mangrove akan sangat menguntungkan bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove, yakni dapat memungut madu. Selain memungut madu dari alam dari alam, masyarakat juga bisa mendapatkannya dengan beternak lebah madu.
Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus javanicus, dan tempat persinggahan bagi burung-burung migran.
BAB III
HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN HASIL KAJIAN
3. 1. Hasil Kajian
Upaya pemanfaatan hutan bakau dengan tidak menggurangi kelestarian dan merusak hutan bakau atau mangrove tersebut adalah :
3.1.1 Korelasi Hutan Bakau Dengan Biota Laut
Peranannya dengan ekosistem pesisir lain sangat jelas, yaitu sebagai penghasil zat hara bagi kesuburan perairan, sehingga tingkat produktivitas primer mangrove cukup tinggi selain padang lamun. Peranan ini sekaligus menjadikan hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan da¬erah pemijahan, asuhan, mencari makan dan perlindungan bagi biota laut seperti udang, kepiting, ikan dan jenis-jenis spesies lain. Kepiting merupakan biota laut dominan di daerah mang¬rove, yang memakan daun mangrove dan serasah lainnya. Kebiasaannya ini sangat berperan dalam membentuk detritus dan daur unsur hara, demikian juga dengan anelida dan nematoda yang hidup dalam redimen hutan mang¬rove.
Penurunan daya dukung hutan mangrove akibat pemanfaatan lahan dan pembabatan pohon mangrove akan sangat mengurangi fungsi ekologinya, termasuk hubungan dengan ekosistem pesisir lain dan manusia.
Untuk itu, semua instansi terkait dapat bekerja sama dalam pelestarian ekosistem ini dan pemangku kepentingan dapat membantu secara aktif. Semua usaha ini dilakukan tidak hanya untuk pemulihan dan meningkatkan peranan hutan mangrove, tetapi juga untuk pelestarian biota laut lainnya yang menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat.
3. 1.2 Pemulihan dan Pendayagunaan Potensi Hutan Mangrove
Pada dasarnya hutan mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif. Namun sering pula dianggap sebagai lahan yang terlantar dan tidak memiliki nilai sehingga pemanfaatan yang mengatasnamakan pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan. Pengelolaan tambak memang menjanjikan hasil yang menggiurkan tetapi sangat perlu dilihat kesinambungan dan kelestarian lingkungan yang sudah terbentuk sebelumnya. Kondisi ini memerlukan suatu strategi yang jelas dan nyata untuk dapat mempertahankan dan mengelola secara baik dan utuh hutan mangrove. Untuk itu perlu dikaji pendayagunaan potensi hutan mangrove, sebagai salah satu bagian dari ekosistem pesisir, secara berkelanjutan berbasis masyarakat.
3.2 Pembahasan
Upaya yang harus dilakukan untuk menjaga kelestarian Hutan Mangrove dapat dilakukan melalui teknik silvofishery dan pendekatan bottom up dalam upaya rehabilitasi. Silvofishery merupakan teknik pertambakan ikan dan udang yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dalam hal ini adalah vegetasi hutan mangrove. Usaha ini dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem hutan mangrove sehingga terjaga kelangsungan hidupnya.
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Selain itu, pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya.
Selama ini pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi pada beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas (pemerintah). Seperti suatu kebiasan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down.
Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek, yaitu saat dana telah habis, tentu saja pelaksana proyek tersebut merasa sudah habis pula tangung jawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan, mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek.
Karena pendekatan top down kurang memberdayakan masyarakat maka diterapkanlah pendekatan secara bottom up yang merupakan suatu teknik dalam rehabilitasi hutan mangrove yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Seyogyanya upaya pemulihan hutan mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian semua proses rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat sehingga masyarakat merasa memiliki dan akan selalu turut menjaga kelestarian hutan mangrove.
Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan jangka panjang. Pendekatan bottom up akan menumbuhkan partisipasi masyarakat juga sekaligus merupakan proses pendidikan bagi masyarakat.
Selain itu juga kondisi hutan mangrove yang terjaga dapat menjadi objek wisata yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove merupakan objek wisata alam yang sangat menarik. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.
Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan mangrove, yaitu:
1. Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
2. Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.
Seperti kita ketahui bersama, tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove. Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4. 1. Kesimpulan
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantainya selalu tergenang air. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove.
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai.
Peranannya dengan ekosistem pesisir lain sangat jelas, yaitu sebagai penghasil zat hara bagi kesuburan perairan, sehingga tingkat produktivitas primer mangrove cukup tinggi selain padang lamun. Peranan ini sekaligus menjadikan hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan da¬erah pemijahan, asuhan, mencari makan dan perlindungan bagi biota laut seperti udang, kepiting, ikan dan jenis-jenis spesies lain. Kepiting merupakan biota laut dominan di daerah mang¬rove, yang memakan daun mangrove dan serasah lainnya. Kebiasaannya ini sangat berperan dalam membentuk detritus dan daur unsur hara, demikian juga dengan anelida dan nematoda yang hidup dalam redimen hutan mang¬rove.
Untuk itu, semua instansi terkait dapat bekerja sama dalam pelestarian ekosistem ini dan pemangku kepentingan dapat membantu secara aktif. Semua usaha ini dilakukan tidak hanya untuk pemulihan dan meningkatkan peranan hutan mangrove, tetapi juga untuk pelestarian biota laut lainnya yang menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat.
4. 1. Saran
Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.
Serta kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi harus ditanamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sinar Harapan, Senin, 28 September 2009
OLEH: AUGY SYAHAILATUA, PHD
Fakultas Peternakan Perikanan & Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua. Oleh Agustina Y.S. Arobaya*) dan Freddy Pattiselanno**)
http://tumoutou.net/702_04212/zeinyta_a_h.htm
(www.lablink.or.id)
Wikipedia.indonesia
Eddy, Syaiful. 2008. Pengelolaan Potensi Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan. Palembang . Jurusan Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.
Khazali, M. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. (Online), (http://www.pmdmahakam.org, diakses 20 Mei 2010).
Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Terjemahan Dr. M.Eidman. Jakarta: Gramedia.
Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, 20 Mei 2010).
Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (Online), (http://library usu.ac.id, diakses 20 Mei 2010).
Walhi. 2006. Degradasi Hutan Bakau dan Akibatnya (Online), http://www.walhi.or.id, diakses 20 Mei 2010).
HUTAN BAKAU SEBAGAI PENDUKUNG FUNGSI BIOTA TEPI PANTAI
UPAYA PELESTARIAN HUTAN BAKAU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar